Selasa, 20 Januari 2009
Pernahkah kau memakannya kawan? Dulu, sewaktu aku masih kecil, hanya ada satu keceriaan yang kutunggu tunggu apabila hari itu tiba, manganan. Ya, saat manganan tiba, ada kuliner langka yang harusnya jangan dilewatkan. Namanya gelali, terbuat dari rendaman saripati gula merah lalu ditusuk lidi bambu bulat bulat sekepal terung lalapan yang bertabur kacang di setiap sisinya. kalian yang asli desa ini pasti tahu apa itu manganan, bagi yang belum tahu, baiklah, akan aku jelaskan, dulu konon kabarnya, seseorang bernama mbah gerit terkenal sangat sakti dan alim. Beliau adalah orang yang babad alas di desa ini, menebang pekatnya hutan, membuka pemukiman yang segera menarik orang orang untuk datang menghuninya.
Oleh karena beliau sangat bijak, dermawan, sampai sampai semua orang menganggapnya sebagai titisan dewa. Mbah gerit menjadi seorang guru bagi penduduk desa, namun dia adalah juga seorang pertapa biasa yang sangat sederhana. Dengan lelaku spiritualnya di bawah pokok beringin tua, beliau mengajarkan pentingnya dalam bertingkah laku sesuai norma, berpantang makanan yang haram, sampai urusan sosial kemasyarakatan. Dalam masa masa beliau menjalani tugasnya memangku desa purwosari ini, purwosari mencapai puncak kejayaan. Baik dalam tatanan sosial masyarakat, kemakmuran, keamanan dan kerukunan hidup terjaga. Istilahnya, gemah ripah loh jinawi. Semuanya hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan. Sampai akhir hayatnya, jasa jasa beliau masih dikenang seluruh warga desa. Karena itulah, setiap tahun, sebagai wujud rasa terimakasih kepada ajaran beliau-tentunya selain penguasa tertinggi yaitu Tuhan- atas segala nikmat dan kelimpahan panen padi, warga se puak desa mengadakan ritual bersih desa yang akrab di sebut manganan (kegiatan me-makan). Waktunya, biasanya Jumat pon menurut penanggalan Jawa. Konon, hari itu adalah saat meninggalnya mbah gerit.
Saat selesai mengadakan ritual yang dipimpin oleh tetua, warga yang membawa nasi tumpeng beserta lauk pauknya didoakan, barulah warga desa dapat menikmati atau membagi bagikan berkat kepada sesama warga yang duduk mengelilingi berkat atau dalam istilahnya ngepung berkat. Dan pulang membawa berkat setelah terlebih dahulu ditukar dengan milik warga yang lain. Kalu ini, sifatnya adalah sukarela dan ikhlas, karena esensi manganan adalah memberi atau weweh.
Pesta belum berakhir, justru setelah itu, kira kira kemeriahan dimulai. Wayang yang telah di sewa atau ditanggap untuk menghibur warga dimulai saat selesai duhur, Biasanya, wayang yang ditanggap mengambil lakon lakon yang kerap di sukai mbah gerit semasa hidup. Konon pula, arwah mbah gerit di beringin tua yang diyakini adalah pesarean atau peristirahatannya turut melihatnya. Mungkin terbahak di kuburnya. Sebuah Kepercayaan yang turun temurun hingga saat ini.
Lazimnya pesta, setiap kemeriahan selalu menghadirkan interaksi sosial yang melibatkan banyak orang serta banyak uang yang berputar. Para penjual memanfaatkannya untuk menangguk rezeki. Bermacam macam penjual makanan seperti yang tradisional layaknya kusebut tadi, gelali, rujak, dan macam macam lagi sampai yang berbau ke kinian semacam jajan pasar, aneka mainan anak kecil berderet di kanan kiri arena yang disekat oleh pagar bambu yang dilabur gamping. Sementara yang muda asyik menikmati jajanan, golongan tua yang haus akan hiburan tradisional memilih duduk di sekitar terop, regeng gayeng dan serius menyimak wayang. Dan tertawa berderai derai saat babak goro goro (gurauan) berlangsung.
Dulu, semasa aku masih dipotong kuncung alias menyisakan sepetak rambut jambulku di depan, aku hanya tertarik pada satu hal, gelali. Buatku, menonton wayang adalah rutinitas tahunan yang menjemukan. Cenderung monoton karena bahasa yang disampaikan, bahasa jawa kawi, babonnya bahasa jawa dalam strata yang paling halus. Saat di depan, hanya beberapa menit saja mungkin aku bertahan. Kalu kupaksakan, ngantuk pastinya. Setelah itu, khasnya keceriaan anak kecil, pandanganku tertuju pada pada penjual mainan anak anak semacam sebulan (balon), kitiran dari kertas, berupa rupa lot lotan atau kacang tanah yang dijual perbungkus Cuma Rp 500. Sementara bagi yang haus, es setrup sumba merah bolehlah dicoba, manis namun jangan salahkan penjualnya jika perut melilit, karena biasanya air yang pakai, air mentah.
Beberapa temanku yang sudah agak besar memberanikan diri agak kebelakang layar. Rupa rupanya arena judi dadakan terhampar bak miniatur las vegas, orang hilir mudik mencoba peruntungannya dalam putaran erek erek (media judi yang berupa papan bundar berisi duabelas angka dengan jarum di titik pusat, biasanya bandar akan memutar poros setelah petaruh meletakkan koin ke dalam kertas angka berdigit satu sampai duabelas), judi dadu kopyok, Kartu remi juga tak kalah di semuti pengunjung. Kebanyakan memang para pemuda dan bapak bapak.
Aku berkeliling keliling dalam arena yang tak sebegitu luas itu, tangan kanan memegang gelali pertamaku, suatu sensasi aneh yang baru kutemui, penjualnya telah sebegitu kerepotan meladeni pembeli yang tertarik dengannya. Lengket sekali gelali itu, namun manis dilidah, saat kau gigit, mungkin kau akan meraskan kelembutan, kenikmatan tiada tara..coba deh...(bersambung)
Sekali malam di warung kopi tiga dara part 2
Malam di warung tiga dara, nita –salah satu dari pelayan warung-menyodori pesanan patenku, secangkir kopi tubruk. Pandanganku tertuju pada orang yang sama saat berbincang di malam gerimis itu. Kutepuk pundaknya pelan, menoleh lalu dia terpaku, seperti mengingat potongan potongan pembicaraanku dengannya beberapa hari yang lalu.
”aku nggak percaya ama Tuhan” katanya sambil menyeruput kopinya. ”Karena begini menurutku bergulirnya mitos tentang Tuhan itu,
Lanjutnya, ” Manusia manusia menisbahkan kata Tuhan pada apa pun yang misterius baginya. Dulu ia gunung gunung tertinggi, atau laut terdalam. Kemudian ia badai yang maha dahsyat, hingga kini, manusia sadar bahwa badai itu hanyalah perbedaan suhu dan tekanan udara antarwilayah”
”Penisbahan itu terus berlangsung sepanjang sejarah; hingga kini manusia berkata bahwa ’pokoknya ada sesuatu diatas sana’, tidak jelas apa tapi pokoknya ada!”. Seolah kini ia menjadi sekedar konsep saja dalam kepala mereka dinamai Tuhan, berdoa pun seperti berbicara dengan diri sendiri..”
Aku menyimak dengan serius..kuhisap dalam dalam rokok Pamor yang tinggal sepertiga itu. ”Mereka tidak dapat menerima, bahwa pada akhirnya, segalanya akan dapat dijelaskan. Tidak ada lagi yang dapat kita namai Tuhan.”
”Tidak ada lagi yang dapat kita namai Tuhan?”gumamku..sebuah pemilihan kata yang menarik. Mengapa kita harus menamai?”
Dia seolah bertanya tanya dalam hati, diam.
”Maksudku, cangkir ini dapat kunamai cangkir karena pikiranku dapat mengenali hal hal lain yang bukan cangkir. Saat kau bilang bahwa pada akhirnya segalanya non Tuhan, maka secara implisit kamu bilang bahwa ada sesuatu bernama Tuhan. Karena
-logika sederhana-haruskah ada kata tuhan jika segalanya Tuhan? Akankah ada yang dinamakan cangkir kopi jika seluruh alam semesta ini cangkir kopi?”
Beberapa waktu, hening. Beberapa teman akrabku datang dari depan, di pinggangnya, terjulur kain sarung yang di gulung, mungkin selesai ngaji di langgar.
Dia memecah keheningan, sudut matanya berkerut kerut, seolah sedang memikirkan semua pendapatku ”hehehe”...terkekeh sambil mengaduk cangkir kopinya.
” Dimana pertanyaan sesungguhnya, bukanlah apakah tuhan itu ada atau tidak, melainkan, siapakah yang sedang bertanya ini? Apa yang terjadi jika segala permainan keinginan ini berhenti? Apa yang ada dibalik penamaan cangkir dan non cangkir? Apa yang terjadi jika segala pemikiran ini diam, tidak berbicara, tidak memercayai atau menolak sesuatu?” sanggahku padanya.
Dia semakin tercekat, lalu, dia seperti menyusun kembali kepercayaan dirinya,” Hal yang terbaik dalam hidup adalah menjalani kebebasan” ia Menatapku,
” bagaimana kamu bisa hidup dalam aturan aturan agama?”
” okelah, memangnya, apa definisimu tentang kebebasan?” sergahku.
”Kebebasan adalah jika kamu dapat melakukan apapun yang kamu inginkan, kapanpun kamu mau, dimanapun kamu berada ”
” Oh, begitu? Lalu, apa yang kamu lakukan jika keinginanmu tidak terpenuhi? yang biasanya terjadi dalam hidup? Tanyaku lagi.
” Emmff, itu sungguh sungguh bangsat, tapi yaaa, biarlah..kita kan bisa mengejar hal hal lainnya lagi”
” terus begitu?” kejarku.
” Ya, terus begitu!”
” hemm, seperti terdengar berkejar kejaran tidak berujung. Kita tidak akan sepenuhnya bebas selama membutuhkan sesuatu, bukankah begitu?” sengatku.
” kamu seperti kiyai yang mengharamkan makan babi atau keinginan keinginan manusia, padahal gairah adalah bensin dalam hidup, dan tidak ada yang salah dengannya bukan?.”
” hehehe, iya juga sih cuii, kegiatan menginginkan adalah kegiatan yang menyenangkan, aku setuju, tapi membutuhkan sesuatu, tercekik olehnya, seolah sesuatu itu tidak kita miliki, atau dapat hilang sewaktu waktu –serta merasa dunia runtuh saat sesuatu itu akhirnya lepas tidak terlalu menyenangkan mendengarnya kan?” aku tertawa.
” Itulah susahnya menjadi seseorang, dapat memiliki dan kehilangan sesuatu ” ujarku kemudian. ” yang diajarkan agama agama itu sebenarnya agar kita memperluas diri sehingga jika kita memberi sesuatu kepada orang lain misalnya, kita tidak merasa kehilangan karena ” bagian diri kita yang lain alias orang lain mendapatkannya. Hidup pun menjadi lebih mudah, karena kita jadi sadar, bahwa sesuai kodrati, segala apa yang datang itu pasti akan pergi, segala sesuatunya, pasti akan datang dan pergi lagi..
Dia membalas, ” ya, ya, itu kan dari tataran filsafat dan kata katamu, tapi kamu pasti tahu benar yang kumaksud dari awal , bahwa sederhana, kita bisa bebas ngapain aja, yang jelas jelas tidak disetujui agama”
Aku menerobos celah matanya, berusaha mencari ke mana arah pembicaraannya.” kenapa kamu ’harus bebas ngapain aja?siapa yang pertamakali meletakkanmu..”
Dia memotongku dengan cepat, ” kamu tidak harus memeluk suatu agama jika tidak merasakan manfaatnya, tapi kamu juga tidak harus mati matian membela kebebasan, ide akan kebebasan juga sebuah penjara!”
”Sebagaimana juga agama!”
Sebagaimana juga agama? Hemm, okelah bos, tapi kini, tidak ada alasan untuk keluar dari satu penjara masuk ke penjara lainnya bukan?, sama saja artinya tidak ada alasan bagi kita untuk bertindak bodoh dengan mengumpankan diri pada saat dalam mulut buaya, lalu lepas kita masuk mulut singa lagi?”
” hahaha, baiklah” dia menggeleng geleng, ”aku tidak akan menjadi pembawa misi kebebasan jika kamu juga tidak menjadi pembawa misi agama” ungkapnya menyerah.
Cangkirku hampir kosong, begitu pula dengannya, seolah olah semuanya telah lunas. Beberapa kali ia menepuk nepuk pundakku untuk sesaat kemudian membayar kopinya pada nita, lalu hilang bersama deru asap knalpot motornya ke arah pertigaan tobo.
Sekali malam di Warung kopi tiga dara
Hal yang sama sepertinya aku rasakan saat mencoba segelas penuh wedang jahe, ”terasa seperti ada getaran halus nan hangat menjalar”, responku padanya.
Gerimis tiba tiba tumpah, dia sepertinya tergesa gesa ingin segera pulang. dia merapat pada dinding reyot..mengajakku berteduh Sambil menunggu hujan reda, perbincangan segera mengalir...dia mengajakku membahas kekuatan dongeng, mengikuti penuturannya tentang diri sendiri.
”Dongeng Dongeng memiliki kekuatan untuk mengantar manusia ke dimensi yang lebih tinggi” Jelasnya.
”Bahkan bisa dibilang, hanya dongeng atau metaforalah yang dapat melakukannya, karena dimensi tersebut seringkali sesuatu yang tak terdefinisikan.”
”Hmm” aku menggumam..
”Seperti warna, Bagaimana kamu dapat mendefinisikan warna biru pada seseorang?” lanjutnya. ”Atau jahe hangat tadi, hangat menjalari tenggorokanmu katamu, pengalaman kita sama. Seperti juga catatan catatan legenda seorang mbah gerit yang sering kalian dengar? Bagaimana kamu dapat menjelaskan sesuatu yang belum kalian atau tidak kalian alami pada waktu itu kepada orang yang kebetulan kamu temui di jalan tadi? Pengalaman itulah yang terdefinisikan berbeda tergantung pada budaya dan latar belakang orang, yang berusaha dilahirkan kembali, berusaha agar dapat terasa oleh orang orang melalui metafora”
”Itu mengingatkanku pada kisah seorang sufi, dia bilang ada dua jalan menuju hati. Satu, mencapainya dari ritual ritual luar. Kedua, mencapainya dulu, baru ekspresi luarnya pun akan selaras dengan sendirinya” aku menjawab.
”Ya, sayangnya jalan pertama sering kali menimbulkan masalah hingga hari ini. Ritual ritual itu mandek menjadi sebuah identitas, kebanggaan, dan sebagainya, sesuatu yang bisa dipertentangkan dan dikompetisikan dengan ritual ritual lain. Kita tidak lagi mementingkan apa yang dirasakan hati para utusan tersebut ketika melahirkan ayat ayat kitab suci itu, karena yang penting kini hanyalah jika kita bisa bergerak persis sama dengan mereka”
”Jadi, selama ini kamu tidak pernah sholat?” Ujarku.
”Aku tidak meninggalkan sholat, apalagi melupakan masjid, karena aku tak berniat meninggalkan pengalaman pengalaman yang aku rasakan ketika membaca Alqur’an. Aku masih membutuhkan spiritnya, tetapi aku meninggalkan pemaksaan interprestasi literal yang sama persis bagi semua orang terhadapnya. Karena jalan dan ekspresi pada Tuhan tentunya berjuta juta”
”Seperti aku menyatakan secangkir kopi sama dengan segelas wedang jahe padahal aku belum pernah sekalipun menenggak wadang jahe itu.”tambahnya.
”Sehingga kamu lebih menyodorkan jalan kedua?” selidikku.
”Tidak, hanya sebuah pilihan, apakah kita menangis dulu baru sedih, atau sedih dulu baru menangis?” Jawabnya mengakhiri perbincangan malam itu karena gerimis telah reda...
TITIK NOL
“
Ruang kedua dihuni oleh pengikut pengikutnya..”
Aku bercakap cakap dengannya, saat cangkruk di depan kios rokok bung tomo, seorang perempuan muda yang selalu menunggu bis atau angkot setiap habis kebaktian di gereja pantekosta purwosari. Saban minggu, wajah cantiknya dari menit ke menit hilir mudik di emper toko perempatan tobo. Di tangannya terselip injil.
”Dapatkah kamu mengajariku doa doamu? ” Tanyanya dalam sorot mata yang damai.
”yang mana?”
”Yang manapun kau rasakan sekarang...”
”Hmm..ada satu surat yang berulang ulang dalam setiap doa kami. Pembuka Alqur’an Al fatihah. Mau versi bahasa arabnya atau inggrisnya?”
” Inggris sajalah..”
Di tengah kerumunan orang orang yang mengangkut berkarung karung beras, klakson mobil yang dipencet serampangan, aneka polah tingkah ojek menawarkan jasanya......
” In the name of God, the most compassionate, the most living. Praise be to be a god, the lord of the universe. The most compassionate, the Most loving, Lord the end of the days”
“ The end of the days, apakah sama dengan yang kami yakini?”
‘ Ya, akhir dari waktu, saat kita semua “kembali”
Gadis itu tersenyum, memandang aspal di bawah kami seolah sedang berdoa.
” Lord that ways grants his servant’s wishes. Grand us..Shiratal Mustaqim”
‘ Shiratal?”
“ aku selalu susah menerjemahkannya, ada sebuah hadist yang berkata ia jalan yang lebih tajam dari mata pedang, membuatku bertanya tanya dulu, jalan apa itu? Mana ada jalan yang lebih sempit dari mata pedang?”
Hingga suatu saat, aku menemukan sebuah peribahasa zen yang lucunya…
Pas begitu saja! Bunyinya, “ The now, is the narrow way between the past and the future. So narrow even compared to the eye of the sword”
Saat itulah aku menyadari, bahwa jalan di sini tidak lain dari jalan di antara dua kutub. Jalan di antara dua ekstrim, seperti angka nol di tengah tengah plus dan minus. Yang satu di tengah tengah dualitas, Yang tak terkatakan dalam bahasa yang saling berpasang pasangan. Jika plus, bisa eksis karena ada minus, maka nol berdiri sendiri. Ketiadaan..onelesss..”
Gadis itu diam seribu bahasa, titik keringatnya meleleh..
” The way of peaceful. Jika dalam gasing umpamanya semuanya berputar, maka hanya ada satu titik yang diam: Titik pusat. Hanya dalam titik itulah, titik nol di tengah tengah putaran dualitas kita dapat beristirahat”
” Not the way of those you gave wrath, nor of those who where evil. Untuk keluar dari titik nol di pusat itu, adalah untuk terseret ke dalam pusaran gasing yang serba berubah. Penuh derita, penuh evil untuk mengatasinya, dan ‘terkutuk”, karena hanya di dunia dualitaslah kutukan dan penghakiman dapat terjadi”
“ super” seru gadis itu takjub.
’ amin”
Titik balik

Frend, beberapa hari yang lalu aku bertemu seseorang di tepi bengawan solo saat ingin memancing bersama menthek, sobatku yang doyan memancing. Dia Seorang aktivis lingkungan, bule berkewarganegaraan Belanda. Dan dia sedang meneliti sampel kandungan air bengawan solo yang terindikasikan mengandung logam berat dan timbal. Suatu hal yang sangat jarang aku jumpai dan ini kesempatan emas untuk sekedar bertanya tanya tentang banyak hal. Aku bertanya padanya tentang kesan kesan saat di Indonesia, hal hal ringan seputar perjalanannya, sampai hal hal yang tak logis. Ternyata dia masih menjadi mahasiswa teknik tingkat dua di jurusan teknik lingkungan.
“ wait wait sir, so..jadi maksudmu, kamu lebih memilih menolak membeli baju POLO shirt meskipun itu yang termurah di pasar? kamu akan menolak masuk perusahaan EXXON Mobile meskipun mereka memberimu gaji paling tinggi? Kamu lebih memilih menolak kereta DB yang seharga 100 EURO dibandingkan pesawat Fly emirates yang Cuma 28 Euro? Dan kamu lebih mendukung negaramu yang berinvestasi pada kincir kincir angin daripada sumber energi lain yang dapat lebih menghasilkan bagi negaramu?”
“yups” jawabnya singkat sambil menikmati segelas es blewah yang kusodorkan.
”Bantu aku memahami semua keputusan yang nampaknya melawan ide ide pembangunan dan hukum ekonomi itu sir?” kejarku penasaran. Menthek sudah menghilang beberapa saat yang lalu, baginya selalu penting memastikan joran pancingnya agar mendapat ikan di tempat yang bagus.
” Well, kami tidak harus membangun lagi, we are developed.. bagi kami, kini saatnya menghentikan dan membereskan segala asap polusi yang sudah kami keluarkan dari segala kegiatan dulu”
Aku menelan ludah. “ hemm, kasihan saja rasanya mengingat bangsaku yang mati matian mencapai kejayaan kalian, hanya untuk menemukan bahwa kalian berhenti, berbalik begitu saja setelah mencapainya. Haruskah kita menghalangi perusahaan minyak sumber jutaan dollar bagi negara kami, hanya karena ia mengeksploitasi lingkungan?haruskah aku lebih memilih kereta DB mahal itu hanya karena semua jaringannya menggunakan listrik?Haruskah kita tidak membeli POLO shirt yang paling murah di pasar karena ia hasil eksploitasi buruh murah negara dunia ketiga? Bagi seorang yang masih developing, prinsip “terbesar untuk pengeluaran terkecil” masih berlaku.”
Dia hanya tersenyum simpul, dari balik kacamata beningnya, ia berujar, “ kami tidak berbalik atau berhenti, kami hanya menyadari bahwa pertumbuhan hanya dapat berlanjut jika kita memperhitungkan segala sisi. Tentunya terserah masing masing jika ingin memikirkan keuntungan tersendiri. Hanya sialnya, kita semua saling berkaitan. Dan tidak ada pertumbuhan sesungguhnya sebelum kita menyadari bahwa kita semua saling berhubungan”
Ia duduk di tepian, menerawang jauh ke utara, pucuk pegunungan kendeng di tuban hanya terlihat membiru.” Tinggal tunggu kerusuhan kerusuhan di negara dunia ketiga jika kita, negara negara kaya terus mengeksploitasi mereka. Tinggal tunggu beberapa pulau tenggelam jika kita terus menggunakan BBM tanpa perhitungan. Tinggal tunggu
Hemm, aku tidak “menerima” mahasiswa yang dua tahun masih muda dibawahku dapat berfikir sejauh itu. Benar benar mengesankan.
Nasi Pecel mak rah…
“Memang, bagaimana bedanya mbah?” kataku sambil mengunyah ngunyah nasi, penasaran dengan kepribadian seorang wanita tua sederhana yang menjajakan nasi di depan koramil desa purwosari setiap pagi menjelang jam tujuh pagi. Mak rah namanya.
Beliau berpikir sejenak sambil memincuk daun, menuangkan nasi yang masih mengepul ngepul dari pengaron, sementara beberapa pembeli sudah mengerubunginya. “Wis mbuh lah le, memasak di rumah adalah aktifitas yang masih murni, Memasak seperti sebuah hobi, klangenan, dilakukan demi kegiatan itu sendiri. Seperti nongkrong berjam jam di warung kopi tiga dara langgananmu, seperti bermain bola setiap harinya, memainkan musik, mendengarkan tayub mbah Jo, mancing…Kegiatan kegiatan yang kadang menyita waktu dan menguras uang, tapi bagaimanapun memuaskan hati.”
Ia menyerahkan buntalan nasi pecelnya yang berdaun jati pada seorang pembeli, cekatan dan santun.
” apa mbah melakukan itu hanya untuk membuatku terkesan?”
”Oh tentu, ”dia terkekeh, dan jikalau kemudian orang orang yang kamu cintai, keluarga keluargamu, teman teman memakan nasi masakanmu” lanjutnya,
”Memasak segera menjadi kegiatan memberi yang paling membahagiakan. Orang bilang manusia itu gemar memperoleh, padahal sebetulnya, kita bahagia karena memberi - sudah dari sononya. Dan memasak, adalah bentuk memberi yang paling sederhana dan sangat mudah.”
Obrolanku terhenti sebentar, oh ternyata cucu cucunya mak rah banyak, meminta uang sangu untuk berangkat ke sekolah. Beberapa dari mereka sudah mengambil jatahnya, nasi pecel. Dan beliau dengan sabar melayaninya.
Aku segera teringat satu hal, terkadang, di negeri kita, pembicaraan pembicaraan ”penting” yang selama ini terjadi tidak lain juga pada saat makan.
”Berapa semuanya mbah? Aku telah menyelesaikan sisa nasi terakhirku beberapa detik kemudian, dan keponakanku devi juga telah menerima pesanannya.
” Tiga ribu rupiah saja mas” ujarnya.
”Matursuwun” pungkasku, segera kutarik setang sepeda dan devi yang tergesa gesa naik boncengan di belakang.
” Eh dev, hayoo, kenapa selama ini kamu tidak suka memasak” godaku.
” Entahlah mas, tapi aku selalu menganggap memasak adalah sebuah bentuk penjajahan pria terhadap wanita” jawabnya nyengir.....
Dasar devi...!!
Di bawah kibaran bendera
Aku berdiri di depan lapangan bina pemuda II sambong saat sore menjelang. Hari itu aku ingin menjalani rutinitasku sehari hari, bermain sepakbola., tapi lapangan dipakai upacara agustusan dan suasana hiruk pikuk sedang ramai ramainya berlangsung. Beberapa anak SMK Negeri Purwosari berjejer meneduh di kerindangan pohon kersen. Di pinggirnya, tiang pancang bendera merah putih berkibaran..angin berhembus kencang…
“Lihat, Bendera bergerak,” kata seorang diantaranya.
” Goblok kamu, Yang bergerak angin, bukan Bendera” balas Murid lain.
Murid pertama tersinggung.
”Bendera”
”Angin”
”Bendera”
Berada pada situasi itu serasa mengirimkanku ke dunia lain, dan mendengar pembicaraan keduanya, aku tersenyum...
Segala sesuatunya terasa cair....
”Absurd...”
Seorang temanku melatih lemparan bolanya di beranda warung pak kamitua, bosan menunggu kerumunan itu segera berlalu, dan berharap segera memakai lapangan.
Tiba tiba dalam bayanganku bola yang dilempar ke atas itu melayang, terapung apung di udara...
Menari nari...
Bayangkan aku terapung apung dalam sebuah ruang kosong hitam pekat; tanpa udara; beku;tanpa debu, tanpa planet. Kosong layaknya langit hitam di atas sana.
Tiba tiba seorang astronout muncul di depan.mendekat ke arahku.
Tapi siapa bisa tahu jika dia yang mendekat?
Muncul lagi seorang astronout kedua disampingku, diam, mengatakan bahwa akulah yang bergerak.
Tapi siapa juga yang tahu jika astronot kedua itu memang diam, sehingga bisa berkata siapa mendekati siapa?
Siapa bisa bilang siapa mendekati siapa?pada hakikatnya?
Karena kita hanya bisa mengatakan bahwa sesuatu bergerak menurut titik referensi mana.
Relatif....
” Kebenaran bergantung pada siapa yang melihatnya”
Dan untuk mengatakan segalanya relatif, berarti mengatakan segalanya related.
Aku bergerak, karena ada astronot kedua yang diam. Temperatur dua derajat ada karena ada yang disebut 10 derajat.
Berpasang pasangan.
Bahkan balok balok materi newton yang dulu konon paling mutlak berdiri sendiri, pun sebenarnya ”tidak ada”
Segala yang kita lihat di depan kita sebenarnya tidak ada...
” karena yang kita sebut massa adalah sebetulnya 99,99% kosong. Energi” kata einstein saat menemukan E = MC2
Serba mengalir dan serba berubah. Seperti ide.
Dan serba bertautan, karena energi tersebut hanya satu, seperti kata guru SMP kita dulu, energi panas hanyalah energi gesekan yang berubah bentuk.
Dan energi dari dulu sama dan tak pernah berubah, tak tercipta maupun tak pernah musnah....
Yang bergerak pikiran” kataku melerai dan mendamaikan dua anak tadi.....
Di tepi bengawan...village of love

Guys..di tempat dan pemandangan seperti ini, enaknya memang pacaran..
Berjalan dan merasakan udara sore di tepi bengawan sisi utara desa kita sepanjang pinggirannya, angin sepoi sepoi membelah kerindangan pohon jati yang gemerisik hijau daunnya seolah bersenandung lagu lagu kedamaian. Sinar ufuk sore lembut menerpa kulit.
Sungai bengawan solo mengalir tenang, airnya coklat terasi, keruh. Membelah Pegunungan kendeng utara, merambat di sela sela kaki kaki bukit dan membawa berupa rupa sampah, eceng gondok, ampas manusia-cara dari bentuk penghormatan manusia manusia dalam memperlakukan sungai- atau apapun yang dapat di bawanya untuk diajak nun jauh ke hilir sana. Sementara deru mesin pengeruk pasir sedikit perbedaan. Agak bising di telinga.
Beberapa saat, pandangan mataku tertuju pada beberapa pasangan yang duduk duduk menatap jauh ke kebiruan bukit utara, mengobrol santai, sesekali tertawa kecil, atau berdiam diri, nostalgia saat mengenang saat saat indah bersama.
Aku memutuskan untuk duduk duduk di sebuah dahan waru yang hampir doyong menyentuh ujung permukaan sungai, menyerap suasana sebuah tempat dimana panah panah cupid seperti ditebarkan ke seluruh penjuru. Kabut romansa seakan akan menyelimuti denyut nadi setiap orang, bahkan tak hanya manusia, sepasang wallet pun bekejaran dengan suara yang riang, sementara perahu perahu malas tertambat di permainkan ombak kecil, sahut menyahut. Lama aku merenung. Aku belajar banyak hal tentang arti keindahan dibalik rusak parahnya ekosistem sungai legendaris ini. Keindahan dan keironisan dapat bersatu…dan aku menemukan kompleksitas semuanya dari hal yang sangat sederhana. Seperti sore itu.
Dari sebuah masa beribu ribu tahun yang lalu, ketika manusia masih begitu hormat, masih begitu sensitif dan masih begitu apresiatif terhadap keindahan keindahan sederhana seperti matari sore. Sebuah masa ketika harmoni dan keseimbangan dapat tercipta dengan mudah dan spontan dari dalam hati.
Bengawan solo mengalir dari zaman ke zaman bukanlah untuk sebuah riwayat keagungan yang didedikasikan untuk orang orang yang tidak mengerti cinta dan mengerti cinta sadarku.. melainkan sebagai pengingat akan sebuah zaman ketika kedua kutub itu pernah bersanding dengan seimbang dan harmonis.
Aku masih tak tahu mengapa perasaan ini campur aduk, yang jelas dan aku tahu tahu tersadar, perasaanku sudah haru biru, menyaksikan betapa ajaibnya suatu hal yang bernama cinta…
Ah cinta..dimana mana cinta…
Belajar kearifan budaya lokal dari seorang Mbah Jo
Suatu siang yang panas, kira kira jam dua belas, iseng aku menyalakan radio dual band, kemerosok timbul tenggelam frekuensinya. Berhenti pada gelombang 95,8 radio MULIA FM, kenop radio tunerku berhenti kuputar. Irama gending tayub langsung mengalun menyeruak menerabas sekat dinding kamarku. Lembut, dan enak didengar ditelinga.
”Jam rolas tekan jam loro....wayahe....” lantunan kata kata khas itu selalu ditunggu tunggu penggemar berat tayub mbah Jo. Suatu komunitas pecinta lagu etnik tayub yang tersebar di sepanjang lingkup desa purwosari dan sekitarnya. Bagi kami, mbah Jo adalah seorang fenomenal. Hampir tiap rumah yang mempunyai ruang dengar, warung warung kopi, pangkalan ojek, depot nasi, bahkan kantor kantor instansi pemerintahan sejenak dipenuhi suaranya yang tenang, teduh santun namun punya daya pikat menarik. Semua terpukau dan terpusat pada satu titik setiap siang. Dialah mbah Jo, sang maestro seniman satu satunya yang dimiliki purwosari. Setidak tidaknyanya, Dialah sosok yang masih eksis sampai sekarang sebagai juru kunci budaya lokal purwosari yang hampir dilupakan, TAYUB.
Sejarah asal mula tayub, sama tuanya dengan sejarah itu sendiri. Langgam atau langen khas jawa timur dan jawa tengah ini dinyanyikan dengan perangkat gamelan, kendang, gong dipadukan dengan ketukan ketukan khas dan berirama pelan. Di beberapa tempat seperti di banyumas, tayub dimainkan menggunakan seperangkat alat musik yang terbuat dari bambu, akrab disebut calung. Dalam setiap pementasan tayub, ronggeng atau seorang penari dalam pementasan memainkan peran sentral disini. Dengan dandanan khas, berkalungkan selendang, penari atau ronggeng harus bisa menarik perhatian pengunjung untuk nyawer. Saweran yang dimaksud adalah uang yang diberikan pada saat sang pengunjung menandak atau menari. Besar kecilnya saweran, bergantung pada kelihaian sang ronggeng dalam memikat, menarik perhatian dan memainkan lakonnya. Cara membuang sampur, keluwesan gerak tubuh, dipadukan suara yang merdu adalah nilai plusnya.
Pertunjukan tayub sendiri Bisa sangat mudah dijumpai pada prosesi prosesi adat seperti pernikahan, sunatan, atau hajatan hajatan lainnya. Di sebagian tempat, menanggap (mempertunjukkan) tayub bisa menjadi perlambang hegemoni seberapa kaya kah orang itu, meningkatkan privilage atau derajat status sosial dan gengsi seseorang.
Frend, Di purwosari, sebenarnya budaya tayuban sudah mulai jarang dipentaskan, itupun dikarenakan desakan arus budaya barat dan modernisasi yang menggerus setiap sendi sendi kehidupan tak bisa dibendung lagi.
Ditengah kekalutan itu, ditengah segala macam pro kontra akan tayub, tampillah di tengah arena, seorang lelaki tua yang mendedikasikan keahliannya meracik langen, dialog dialog ringan seputar kehidupan sehari hari, dan yang paling ditunggu tunggu, pembacaan permintaan lagu dan penyebutan nama orang yang meminta lagu tayub itu sendiri lewat radio.
Gaya bicaranya kalem, namun kadang mengejutkan apabila pada saatnya ada dialog yang mengharuskannya berteriak lantang. Mbah Jo, atau Djajus Pete, seniman kawakan yang kondang di jawa. Penerima Rancage award dalam bukunya yang berjudul kreteg emas, jurang gupit ini begitu pandai memainkan lakonnya. Ada suatu kritik sosial yang meluncur deras dalam setiap untaian kata katanya, kadang samar dan tersembunyi, namun terkadang jelas menohok, pesan yang tak tersampaikan pada sang penguasa kebijakan, keresahan keresahan, kesulitan kesulitan hidup sehari hari wong cilik, bisa dituangkan dalam monolog yang penuh nuansa kocak nan menghibur serta bertabur metafora metafora atau bahasa kiasan.
Beliau langsung membidik pusat syaraf kesadaran kita di putarannya yang terdalam, bahwa untuk menjadi seseorang yang bisa berarti atau mempunyai brand image yang kuat, tak perlu menjadi seorang yang menipu diri sendiri. Menjadi orang lain. Bahwa apapun jenis profesinya, serendah apapun martabat orang itu, asalkan dia bersinggungan dengan dua macam hal, tayub dan mbah Jo, tak perlu menjadi Lurah atau Carik untuk bisa terkenal di kolong desa ini. Kita seperti disadarkan bahwa apapun jenis profesinya, kita harus menghargainya. Hanya satu hal yang menjadi puncak kebanggaan itu, yakni bersyukur dan menjalankan profesi itu sebaik baiknya.
Mbah Jo piawai dalam membuat gengsi seorang yang biasa biasa saja, menjadi orang dengan spesifikasi brand image yang kuat serta menjadi pergunjingan orang orang. Tengoklah ratini, Seorang penjual sayur keliling biasa. Di kalangan umum, mungkin orang asing akan namanya jikalau dia tidak rajin mengirim Request. Dengan aksentuasi yang hebat, pengucapan ratini, ratini, raaaaaatiiiniiiiii..sebanyak tiga kali selalu menjadi hal yang diingat pendengar setianya. Tak aneh bila di los los pasar, di area pertambangan, di sawah, orang pasti akan tahu siapa ratini itu.”ohh, ratini mbah jo?”. Orang orang yang tak pernah bertatapan langsung dengannya pun akan segera Mafhum apabila ada orang yang menunjuk sosoknya saat berjualan. Dan dia bangga, bangga dengan hanya berprofesi sebagai tukang sayur keliling, derajatnya bisa disetarakan dengan seorang Lurah mengingat sebegitu seringnya namanya disebut.
Suatu value (nilai), apalagi yang bersinggungan dengan martabat seseorang adalah hal yang sangat sensitif di sini. Ada kecenderungan pandangan minor yang ditujukan pada profesi tertentu, ini menimpa pada wiji. Seorang penjual kopi. Atau lebih tepatnya penjaja kopi di warung dekat jembatan sungai prudung . Di usia yang sebegitu muda, ia sudah harus mencari nafkah dengan menjual kopi dan menjadi rondo (janda) pada usia sembilan belas tahun pula. Nah ditangan seorang seniman, kegetiran hidup seseorang bisa diolah menjadi daya tarik yang memikat. Bagaimana orang dengan berduyun duyun datang dan pergi silih berganti memenuhi warung kecilnya yang letaknya tersembunyi dibawah jembatan hanya karena ajakan mbah Jo untuk sejenak mampir menikmati kopi, jampi sayah. ”Warung Mbak wiji, jurang jero, kulone jembatan, Janda umur songolas, ndandekke ati deg deg..plas..
Tak hanya itu, mbah Jo bisa menyampaikan bahasa iklan yang pasti langsung disukai pendengarnya seolah olah kita bisa merasakan hebatnya produk yang ditawarkan, semisal, ”nek gak nyruput wedange kopi mbak mut, cekooottt cekoootttt, disruput pisan, mripate pendoloooo, pendoloooo.... ”
Tak jarang, kritikan pedas langsung beliau luncurkan pada saat mengambil kiasan seorang yang kaya raya, pemilik perusahan pertambangan pasir. Begitu kayanya sampai sampai sang juragan tidak terbatas kekuasaanya dalam menguasai wilayahnya serta anak buahnya. ”Pemilik PT BAYAN PERSERO, DIKTATOR SING OTORITER....” Dalam menyikapi hal ini, beliau lugas, tajam dan langsung pada intinya, sebuah kritik kepada penguasa yang lupa akan kesejahteraan kawula alit karena bergelimang kekuasaan.
Kata kata sugestif dari seorang Mbah Jo itu tak melulu meluncur begitu saja dari mulutnya dan spontanitas belaka. Hanya orang dengan spesifikasi tertentu dan telah makan asam garam kehidupanlah yang bisa merangkainya. Ajaib bangeettss, Suatu hasil dari perenungan yang panjang, dalam, dan lelaku bathin guna memahami hakikat diri sebagai satu kesatuan prinsip kesederhanaan, bahwa hidup haruslah dijalani apa adanya, dijunjung erat dan telah melahirkan sebuah mahakarya nan fenomenal dari sudut yang tak terfikirkan. Mbah Jo adalah seniman yang mempunya indera mata batin yang bisa menangkap hal hal kecil, remeh temeh menjadi suatu kekuatan besar semangat dan inspirasi yang bisa memberikan pencerahan bagi setiap orang disekitarnya. Dia mampu menuntun aku, menjadi seorang yang mempunyai keteguhan dalam menghargai nilai nilai kearifan budaya lokal sebagai prinsip hidup yang selaras dengan yang diinginkan oleh sang Penguasa tanpa batas. Mbah Jo is The best Lah pokoknya..!!!
Teman, ironis memang, zaman memang selalu bergerak maju, manusia manusia juga lebih dituntut untuk menyesuaikan diri dengan peradaban baru. Budaya metropop yang berujung pada gaya hidup konsumtif hedonis menjajah kita. Jakarta sebagai pintu utama masuknya budaya asing tak mampu memainkan perannya sebagai penjaga pintu gerbang utama budaya timur. Semua yang berbau ke-tradisionalitas-an selalu menimbulkan suatu pandangan pandangan yang lekat dengan citra kuno, jadul, ndeso dan udik. Well, okelah.. Kita hentikan topik ini, aku juga sebenernya ndak mau dibilang ndeso, Hehehe...aku juga masih menikmati MTV dan makan di gerai KFC..hihihi...peace..
Namun apakah dengan melupakan tradisi adiluhung ini, apakah dengan asingnya tayub di telinga kita, apakah dengan tercerabutnya landmark warisan nenek moyang kita, inilah jawaban atas pencarian pencarian identitas ke”aku”an kita? Kita yang seolah olah malu mengakuinya sebagai anak sah kita sendiri, menepikannya dan menaruhnya dalam kotak memori nan usang dan segera dilupakan.
Aku bercermin dan menjumpai diriku yang ada di kaca membantahnya,”Setiap tradisi sedapatnya dibiarkan berekspresi sendiri sendiri. Karena selain tradisi merupakan pengetahuan turun temurun yang membekali keselamatan kita di atas bumi, fisik maupun psikis, meskipun tradisi sebenarnya juga sumber keragaman yang kaya, semacam akar identitas yang membedakan kita dengan yang lain, namun biarkan dia bertransform dengan nilai nilai lain diluar sana”
Aku membantah bayanganku, ”tapi jika tradisi dibiarkan tercampur baur, bagaimana kita dapat mencapai titik temu untuk meminimalkan benturan konflik?”
”Tradisi tradisi itu harus membuka diri” lanjutnya, sebagaimana budaya, yang tidak pernah menutup diri pada input dunia nyata tentang whats work, apa itu kerja. Bahayanya sebuah tradisi yang melembaga, adalah ketika sebuah tradisi menutup diri, sehingga tidak ada lagi kaca benggala dari dunia nyata. Membuat tradisi menjadi kaku, dan melahirkan totaliter yang membuat anak anak muda enggan meliriknya”
Aku tak mau kalah, ”Tergantung dari mental..semuanya itu mental yang berbicara, Harus ada perubahan drastis dalam lingkup mental. Yang membuatku sebagai wong purwosari, merasa ada dirumah sendiri adalah karena komitmen seumur hidupku tidak akan meninggalkan set of mind alias akar muasal.”
”Koeksistensi yang kumaksudkan disini, hanya dapat bermula jika set of mind kita universalitas yang bermuara ke lokalitas, bukannya lokalitas yang melulu berteiak teriak merasa tidak dihargai oleh nilai nilai universalitas” ujarnya sengit. Perdebatan yang panjang dan berlarut larut. Hehehe...
Sejarah masa kini, tak terlepas dari bentukan sejarah masa lampau. Kejadian kejadian masa lalu, adalah pembentuk kepingan kepingan sejarah saat ini dan waktu yang akan membawa kita menjadi bagian yang juga akan tercatat sebagai sejarah untuk membentuk sejarah sejarah baru nantinya. Beranikah kita merubah sejarah kita yang telah berbalik arah? Meminjam istilah pramoedya ananta toer, masihkah arus balik, berbalik lagi?
Tanah air kita yang sempit ini, desa Purwosari, selamanya akan bertumpu pada satu kegelisahan, masihkah ada harapan? Kita hanya akan bisa menunggu saat saat itu, saat saat kearifan budaya lokal ini pelan pelan hancur meninggalkan puing puing dan hanya menjadi penghias mimpi sebagai dongeng pengantar tidur anak cucu kita. Dan kita akan terus menunggu, menunggu dan menunggu. Apakah akan lahir seorang mbah Jo baru sebagai penerus tongkat estafet kebudayaan Tayub kita? Suatu paradoksial teramat klise yang sampai saat ini belum bisa dicari jalan keluar riil nya. Ce ileeee..semangat yah mbah Jo..!
Buat temen temen, ditunggu comment Dan emailnya. Nantikan pembahasan topik topik kita selanjutnya seputar desa tercinta.
SELAMAT DATANG DI WEBSITE DESA PURWOSARI BOJONEGORO
Situs ini diperuntukkan bagi anda yang mengenal, lahir, besar dan pernah hidup di teritorial desa purwosari kecamatan purwosari bojonegoro. Kenalilah dan cintailah desa kita ini karena dengan mengenalnya, banyak hal yang dapat kita ketahui.
Kenapa saya buat web site ini?
1. Tanggung jawab sosial: Responsibility social
Saya sebagai anak asli desa purwosari merasa terpanggil dan ingin mengabarkannya kepada dunia atas segala hal yang terjadi meliputi peristiwa peristiwa sehari hari, sosial, agenda agenda dan ingin mengenali lebih dekat desa kita tercinta.
2. Historical Responsibility (tanggung jawab sejarah)
Menemukan hal hal yang unik, sejarah yang membentuk desa kita dan bermacam macam potensi desa yang patut untuk diungkap agar tidak terjadi lost of history di generasi yang akan datang.
kita, generasi muda adalah ujung tombak dari penerus desa kita tercinta ini. Bantu saya untuk terus mengembangkan situs ini karena semua ini tak berarti tanpa dukungan saudara saudara. segala hal yang berkenaan dengan informasi dan hal hal lain yang menarik meliputi sejarah desa, potensi pariwisata, agenda, prestasi yang telah dicapai, apapun juga termasuk saran, kritikan sangat sangat kami tunggu. Anda dapat kirimkan melalui email ke evrilza_070586@yahoo.com atau meninggalkan comment.
atau ke contact person Sdr. Erliza A.A di nomor 08563793505
Selayang Pandang
Purwosari adalah sebuah desa sekaligus ibukota kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Suatu wilayah yang terkenal akan semboyannya APIK. Saat ini desa Purwosari dipimpin oleh kepala desa Bpk Nariyanto yang telah dipilih melalui ajang pesta demokrasi.
Potensi Wisata:
Beberapa tempat yang bisa dikatakan menyimpan wisata di desa ini adalah:
Wisata Religi: Manganan
tradisi Syukur desa yang lebih familier disebut manganan. Prosesi unikum yang dijumpai setiap satu tahun sekali ini bertempat di halaman pelataran tempat bernama mbah gerit.
Wisata Alam: Waduk Bibis
Alam desa yang berkontur persawahan lazim ditemui hampir di setiap sudut desa. Di sebelah selatan, terdapat waduk buatan yang berfungsi menampung debit air hujan dan berfungsi mengairi sawah sawah di wilayah desa. Disamping itu, budidaya ikan juga bisa ditemui disini.
Alamat
Jl. Raya Purwosari 163
Purwosari Bojonegoro
Telepon
(0353) - 551027
Nama Camat
Joko Purnomo, S.sos, MSi
Kondisi Geografis
Wilayah desa purwosari bertekstur dataran rendah, tanah kapur dan bercampur material pasir di beberapa tempat (utamanya utara). sebagian besar wilayahnya terdiri dari sawah, di sebelah utara, dialiri sungai yang legendaris, sungai bengawan Solo. Sungai gandong di sebelah timur,dan sungai prudung di barat menjadi batasnya.
Batas Wilayah:
Batas Barat Padangan
Batas Utara Malo
Batas Timur Kalitidu
Batas Selatan Tambakrejo
Data Desa
Nama Desa Kades
1. Donan : PATMIN
2. Gapluk : SUNOKO
3. Kaliombo : SUPRATIKTO
4. Kuniran : WARSONO
5. Ngrejeng : SANTOSO,SH
6. Pelem : Y A K I N
7. Pojok : SUWARNO
8. Punggur : DIDIKYANTO
9. Purwosari : NARYANTO
10. Sedahkidul : M. LASIRIN
11. TinumpukI : JAYUS
12. Tlatah : Drs. SUSWIJAYANTI